Skip to main content

bersambung 4..

Setelah kenyang dan membersihkan alat masak, kami masuk ke kantung tidur masing-masing, bergegas tidur. Dingin mulai menyengat. Suara tonggeret bersahut-sahutan seolah ada dirigen yang memimpin mereka. “Malem, Gat!”

“Hmmm..” Jagat menjawab dengan kesadaran yang tinggal setengah. Tak lama kemudian, kami masuk ke alam mimpi masing-masing.

***

Aku terbangun karena silau cahaya matahari. Jagat masih tertidur di dalam kantung tidurnya. Aku buka pintu tenda lalu takjub dengan yang kulihat. Bukit – bukit, kemudian padang ilalang, dan matahari yang muncul di antara bukit-bukit itu. Ya ampun, pemandangan ini adalah foto yang kupasang di wallpaper laptopku, aku dapat dari hasil googling Rinjani setahun yang lalu.

“Gat! Bangun, Gat! Lo harus liat,” kataku berteriak sambil loncat-loncat gembira di luar tenda. Jagat akhirnya bangun, menggeliat malas, kemudian duduk mengerjap-ngerjapkan matanya. Tak lama kemudian, dia tersenyum sambil keluar dari tenda.

“Besok subuh Jani, kalau semesta mendukung, kita bakal ada di sana!” Jagat menunjuk puncak Rinjani yang menjulang paling tinggi dan seolah paling tangguh.

Setelah mengabadikan momen kami di Pos 2 Sembalun, kami sarapan dan bergegas melanjutkan pendakian. Sore ini, kami harus sampai di Plawangan Sembalun. Di sini, sulit sekali menemukan pohon besar dan rimbun. Jalurnya sangat terbuka. Sejauh mata memandang, hanya ada perbukitan teletubbies dan padang sabana. Jalur sembalun sangat cantik, sekaligus menyakitkan.

“Jani, sehat?” Jagat bertanya saat kami beristirahat.

“Bukit penyesalan ini emang bener-bener luar biasa,” kataku sambil menerawang jalur  yang telah kami lalui.Tujuh bukit penyesalan adalah salah satu bagian yang tak terlupakan dari Rinjani. Paa pendaki harus naik turun sebanyak tujuh bukit dengan medan yang terjal dan terbuka. Matahari dan angin kadang menyerang tanpa ampun. Konon, bukit penyesalan ini seolah-olah ingin membuat para pendaki menyesal mendaki Rinjani.

“Kita istirahat dulu aja di sini sambil makan siang,” Jagat mengeluarkan perbekalan yang telah disiapkan di Pos 2 tadi pagi. Aku hanya mengangguk sambil menenggak air.

“Nggak nyesel kan Jan, naik Rinjani?” Jagat mendekat duduk di sebelahku.

“Nggak lah, Gat. Ini gunung, baru sampe sini aja udah cantik banget. Apalagi nanti di atas. Yang cantik kadang emang nyakitin ya,” aku berseloroh. Kami mulai menyantap makan siang kami masing-masing.

“Gw penasaran, kenapa ya bokap bisa cinta banget sama ini gunung,” aku kembali menerawang.

“Nanti mungkin di akhir perjalanan ini, kita bisa tahu jawabannya. Sori nih Jan, emang kapan bokap meninggal?” Jagat bertanya hati-hati.

“Waktu gw masih lima tahun, Gat. Bokap meninggal waktu lagi arung jeram di Citarik. Bokap nyokap dulunya penggiat alam, tapi semenjak bokap nggak ada, nyokap ninggalin semua hobi outdoornya. Dia jadi wanita karier sampe sekarang buat nyekolahin dan ngegedein gw,” ucapku berusaha terdengar sesantai mungkin. Aku belum pernah bertanya mengapa Ibu meninggalkan hobi yang begitu dicintainya. Mungkin karena takut musibah yang serupa menimpanya lalu aku menjadi anak yatim piatu, atau mungkin kembali ke alam membuatnya  mengingat segala sesuatu tentang ayah. Entahlah.

“Pantes ya, Jan, lo jadi kaya sekarang. Jiwa petualang emang ada di darah lo, langsung dari nyokap bokap lo,” Jagat berujar sambil membereskan peralatan makan siangnya. 

“Gw juga nggak tau, Gat. Gw masih terlalu kecil kayanya, bahkan memori gw tentang bokap rasanya belum ada. Gw cuma tahu bokap dari foto-fotonya. Kadang gw ngerasa, apa gw bener-bener hobi di outdoor, atau gw cuma mau nerusin hobi nyokap yang nggak pernah lagi dia lakuin, atau mungkin bentuk gugatan gw ke alam karena udah ngambil bokap terlalu cepet,” kataku lirih. Tak berani aku melihat mata Jagat. Aku takut dia  bisa membaca kesedihan yang tak pernah aku tunjukkan kepada siapapun.

Jagat menepuk pundakku lembut tanpa berkata apa-apa. “Sori ya, Gat, jadi awkward gini suasananya,” aku sudah berani menatap mata Jagat sekilas sekarang. Tepukkan Jagat memang tanpa kata, tapi aku begitu merasakan ketulusannya. Tak lama kemudian, Jagat bangkit memakai carriernya, mengulurkan tangannya kepadaku, “Yok, lanjut lagi!” Aku menyambut tangannya, berdiri, dan pendakian kembali dimulai. 

Jam empat sore akhirnya kami tiba di Plawangan Sembalun. Aku duduk bersisian dengan Jagat. Di bawah kami, lautan awan yang tak beraturan seperti kasur kapas membentang luas. Kami bisa melihat beberapa puncak gunung ada di hadapan kami, jika tidak ada awan yang menghalangi. Di belakang, puncak sang Dewi Anjani berdiri anggun, seperti siap memeluk siapa saja yang mendatanginya. 

“Jani, itu Segara Anak,” Jagat menunjuk ke arah bawah. Aku terpesona. Rupanya, jika awan di bawah kaki kami tersibak perlahan, Segara Anak akan menampilkan keindahannya pelan-pelan, malu-malu.

***

“Jani, udah jam 1 pagi,” Jagat membangunkanku. Jagat sudah mulai memasak air dan menyiapkan makan untuk kami muncak. Aku bangun sambil berusaha duduk dengan agak menggigil. “Butuh kehangatan,” kataku dengan suara parau sambil membentangkan tangan ke arahnya, seolah minta dipeluk.
“Nih, peluk kompor!” katanya sambil tertawa. Ini yang paling aku suka dari Jagat. Dia sangat sopan dan begitu menjagaku.

Setelah kami selesai makan, menyiapkan perbekalan, dan menyiapkan peralatan yang akan dibawa ke puncak, pendakian ke puncak Rinjani siap dimulai. Jam tanganku masih menunjukkan pukul 02.00. Semoga, cuaca cerah dan kami bisa menikmati matahari terbit dari puncak gunung tertinggi kedua di Indonesia. Aku lihat ke jalur arah puncak Rinjani, terlihat sinar-sinar kecil dari headlamp pendaki seperti berbaris. Mereka terlihat sudah begitu tinggi. Aku menahan napas, gugup.

Kami sudah melewati batas vegetasi. Sudah tidak ada lagi tumbuhan di sini. Medan berpasir memaksa kami harus naik tiga langkah dan turun dua langkah. Angin yang begitu kencang membuatku harus menancapkan tracking pole dalam-dalam agar tidak limbung. Kami mencoba untuk tetap bergerak agar panas tubuh tetap terjaga. Jagat yang dari tadi berjalan di depanku mendadak berhenti. Aku mendekatinya, memegang pundaknya, “Jagat, are you okay?” Suaraku ditelan angin. Gigiku bergemeletuk karena kedinginan. 

“Gw agak pusing. Kita duduk sebentar ya di balik batu itu,” Jagat berjalan ke balik batu. Aku mengikutinya dari belakang. Batu ini lumayan besar, cukup melindungi aku dan Jagat dari angin yang begitu kencang. “Ini Gat, makan dulu apel sama teh angetnya!” aku mengeluarkan kotak apel yang telah diirisi tadi di tenda dan termos yang berisi teh.

Setelah semuanya kembali aman, kami memulai perjalanan lagi. Aku berusaha mengatur napasku yang tinggal satu-satu. Tiba-tiba, Buk! Aku terjatuh. Jagat langsung berjalan ke arahku. Aku dibantunya kembali berdiri. 
“Nggak apa-apa kan?” Aku mengangguk. 

Akhirnya, pukul 05.35 kami sampai di Puncak Rinjani. Ada beberapa pendaki lain yang telah sampai. Kami saling bersalaman, memberi senyum, dan ucapan selamat. Aku dan Jagat saling memisahkan diri. Kami mengambil tempat kami masing-masing untuk merenung. Ku nikmati matahari yang terbit perlahan dengan jingganya, melayangkan pandangan ke Segara Anak yang begitu molek, mengingat semua orang yang aku kasihi, dan hidupku yang patut aku syukuri, tiba-tiba aku merasa penuh. “ Terimakasih, Tuhan,” aku berkata lirih sambil mengelap air mataku.

bersambung...

Comments