Skip to main content

Cerita dari Bromo

Bromo, 2020. Saya teringat wallpaper desktop dari Windows.

Long weekend
 ini saya dan keluarga jalan-jalan ke Bromo. Tujuan awalnya sebenarnya ingin ke Batu, tapi karena hampir semua penginapan yang kredibel sudah penuh di Batu dan ditambah penerbangan pulang di reschedule jadi satu hari lebih cepat, kami memutuskan untuk bermalam di Surabaya. Sangat singkat sebenarnya perjalanan kali ini, hanya dari Kamis sampai Sabtu.

Kamis siang kami tiba di Surabaya dan langsung ke Batu, yaitu ke Museum Angkut. Tengah malamnya, kami dijemput untuk pergi ke Bromo. Sebelumnya saya tidak pernah benar-benar tertarik ke Bromo karena katanya tempat ini sangat ramai. Jam 12 malam kami di jemput menggunakan mobil Avanza, kemudian berganti dengan mobil Jeep di daerah Pakis. Sekitar pukul tiga pagi, kami sampai di warung-warung sebelum Pananjakan. Begitu keluar dari Jeep, astaga, dinginnya luar biasa. Saya menyesal tidak membawa kupluk dan sarung tangan. Jaket yang saya pakai juga hanya yang single layer. Untuk kalian yang ingin ke Bromo, persiapkan penghangat badan selengkap mungkin agar nyaman menunggu matahari terbit.

Setelah makan indomie dan teh hangat di warung, setengah empat pagi kami sudah di Pananjakan. Jadi tempatnya dibuat seperti ingin menonton pertunjukan, berundak-undak. Ketika kami sampai, tempatnya masih cukup sepi. Matahari baru mulai terbit sekitar pukul setengah lima. Tanpa sadar, makin lama makin banyak pengunjung. Dan sayangnya, hari itu sangat berawan. Jadi kami nggak bisa lihat pemandangan seperti foto iconic ala-ala Bromo. Jam lima pagi kami sudah kembali ke Jeep karena tempatnya makin ramai dan banyak yang tidak menggunakan masker, di tambah lagi tidak ada tanda-tanda awan akan menipis dan pemandangan akan berubah signifikan. 

Pemandangan dari Pananjakan

Kalau malamnya selama perjalanan kami tidak bisa melihat apa-apa, ketika pulang, kami bisa melihat pemandangan yang sangat bagus. Kawah Bromo, Pasir Berbisik, Bukit Teletubbies, dan masih banyak lagi. Kami sempat berhenti di beberapa spot, karena masih sangat pagi dan hampir semua orang masih di Pananjakan, jadi tempat-tempat yang kami kunjungi masih sangat sepi. Untuk saya, Bromo sangat indah sekaligus magis. Ini seperti spot-spot terbaik di beberapa gunung tetapi luasnya berkali-kali lipat dan tidak perlu mendaki berjam-jam atau berhari-hari untuk sampai ke tempat ini. Saya teringat pada Surya Kencana di Gunung Gede, Ora-Ora Ombo di Semeru dan jalur Selo di Merbabu. 

Dengan sangat gembira, saya mau sekali jika harus ke tempat ini lagi, bahkan untuk sebatas duduk-duduk dan menikmati sepanjang pagi di sana. Saya sempat terbayang bagaimana segarnya jogging di tempat yang seindah dan seluas ini. 

Selepas dari Bromo, kami langsung kembali ke Surabaya untuk menginap di Jalan Embong Malang. Sama seperti perjalanan dari Argopuro dan Ijen beberapa tahun lalu, Surabaya tidak pernah menjadi tujuan utama, hanya sebatas persinggahan karena penerbangan termasuk juga penginapan jauh lebih murah di sini dibanding Malang atau Banyuwangi. 

Oh ya, untuk yang berminat ke Bromo, driver Jeep kami sangat recommended, Pak Moko namanya. Selain sangat enak bawa mobilnya dan jeep-nya yang sangat nyaman, dia juga dengan senang hati memberikan rekomendasi tempat-tempat terbaik, bahkan hasil fotonya bagus-bagus sekali. Dia sangat semangat untuk memfotokan dan mengarahkan gaya kami. Haha. Bisa japri saya kalau ada yang butuh kontaknya. 

Hasil jepretan dan arahan gaya Pak Moko.

Comments