Skip to main content

10 Menit di 3142 MDPL

17 May 2014

“Pos helipad di mana ya?” kata pendaki yang berjaket biru itu. Di belakangnya tertulis suatu himpunan tertentu, dari suatu universitas di Bandung.

“Ke sebelah sana kalo nggak salah. Setelah ini, Mas,” aku mencoba menjelaskan setengah terengah.

“Ooh, udah pernah ke sini?” tanyanya lagi.

“Iya, udah, tahun lalu.” Jawabku singkat. Pendaki itu berjalan meninggalkan kami bertiga dan menghilang dari pandangan.

Akhirnya kami tiba di puncak, 3142 MDPL. Cuaca cerah! Aku lihat pendaki berjaket biru itu, dia sudah berdiri di sana sebelum kami tiba.

Berpisah dari yang lain, merenung, berkilas balik, dan bersyukur. Ini adalah agenda wajib setiap sampai di puncak sebelum berfoto tentunya. Setelah agenda wajib ini, saya berkeliling sebentar dan memilih duduk di jarak yang tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan pendaki berjaket biru yang sedang berdiri sendiri ini.

Saya lupa, siapa yang memulai pembicaraan.

“Asalnya dari mana?” Tanyanya singkat tanpa beranjak dari tempat berdirinya.

“Dari Depok,” jawabku sambil melihat awan-awan di bawah.

“Bukan, maksudnya aslinya dari mana?”

“Oooh, Bapak saya batak, Ibu saya sunda. Muka saya nggak bisa bohong ya? Haha.” Saya satu-satunya anak yang marganya tidak tercantum di akte kelahiran, tapi kenapa muka saya yang paling “Batak” dibanding empat saudara perempuan saya yang lain. Ah, takut tidak diakui mungkin.

“Tahun lalu pernah ke sini?” Tanyanya lagi. Rupanya dia masih ingat pembicaraan di jalur tadi.

“Iya, tahun lalu saya ke sini, pake toga. Ngerayain kelulusan ceritanya,” jawab saya panjang tidak seperti biasanya. Kenapa saya mesti pakai pamer segala. Memberikan keterangan yang tidak perlu. Tiba-tiba saya ingin bercerita banyak dengan orang ini.

Kemudian pembicaraan itu berlanjut, hingga kami saling memberitahu angkatan dan jurusan kuliah, dan homebase masing-masing, tapi kami tidak saling memperkenalkan nama. Salah satu kebiasaan saya saat berbicara dengan orang asing, tidak memperkenalkan nama. Pembicaraan itu berlangsung tidak lebih dari 10 menit, di 3142 MDPL.

Ada temannya datang, saya pun segera menemui empat teman saya yang lain. Pembicaraan selesai. Kami turun lewat jalur yang berbeda. Saya kira, komunikasi kami akan berhenti sampai di situ, jangankan nomor handphone, nama saja tidak tahu.

20 May 2014

Ada yang add saya di FB. Namanya saya nggak kenal. Saya lihat fotonya, sebentar, ini dia yang ngobrol sama saya di puncak kemarin.

29 May 2014

Saya lihat lemari, ada setumpuk kaos dan baju kerja. Saya ingin agak perempuan hari itu. Artinya tidak kaos, dan tidak mungkin juga saya pakai baju kerja di hari libur. Baju yang agak perempuan biasanya saya pinjam dari kakak atau adik saya, dan baju mereka ada di rumah. Ah! Saya cari di tumpukan kaos, dan akhirnya ketemu, pilihan satu-satunya.

Alas kaki. Alas kaki perempuan entah kenapa tidak terlalu bersahabat dengan saya. Entah cepat rusak, entah membuat kaki saya lecet, pokoknya sendal gunung selalu jadi pilihan terbaik, kecuali ke kantor. Tapi saya ingin agak perempuan hari itu, jadilah saya pakai sepatu perempuan saya satu-satunya yang biasa saya pakai ke kantor.

Tas. Ransel selalu jadi pilihan terbaik. Tapi saya ingin agak perempuan hari itu. Jadi, saya ambil tas di tumpukan lemari paling bawah, saya ambil tas kakak saya yang sudah saya anggap hak milik saya.

Berangkat!

Yang pertama selalu punya kesan tersendiri, bukan?! Termasuk perjalanan ini.

Semua baik-baik saja sampai saya tiba di jalan raya dan merasa ada yang salah dengan sepatu saya. Plak koplak koplak. Alamaaaak, ini alas sepatu saya lepas dari tempatnya. Saya baru ingat, sepatu ini saya ajak main hujan-hujanan kemarin. Ah, rapuh sekali kamu sepatu! Kamu harus belajar tangguh seperti sendal gunung.

Sempat terpikir untuk kembali ke kosan dan ganti sendal, tapi saya batalkan karena saya tetap harus beli alas kaki baru untuk ke kantor besok. “Sudah Dimana? Saya ke semanggi dulu ya. Sepatu saya rusak di tengah jalan.”

Belum pukul 10, itu artinya, mall belum buka dan saya harus menunggu. Singkat cerita, saya beli alas kaki baru. Dua jempol kuku saya yang ungu oleh-oleh merbabu menampakkan diri ke publik. Tidak enak dipandang, tapi siapa peduli. Haha. 

“What are you doing, Ran! Mau ketemu sama orang yang seminggu lalu ngobrol sama lo 10 menit di puncak gunung dan beberapa menit lagi lo bakal temuin dia di tengah kota,” kata saya ke diri sendiri dengan agak ragu.

“What’s wrong? Dia keliatannya baik kok. Nggak membahayakan jiwa. Nggak ada salahnya tambah temen.” Kata saya yang lain memberi pembelaan.

Akhirnya saya dan dia kembali bertemu di tengah kota, di halte transjakarta.
Tujuan hari itu adalah Book Fair, Istora Senayan, dengan transjakarta. Transjakarta lumayan penuh, sehingga saya agak ke bagian depan bus, dan dia agak ke belakang.

Kami berdua tidak tahu dimana Istora Senayan. Saya kira dekat GBK, jadi saya turun di halte GBK. Saya menunggu dia keluar dari bus, lumayan banyak yang turun, sampai akhirnya, bus jalan, dan dia tidak turun. Aaaaa, dia ketinggalan. Hahaha.

Dia kira, berhenti di Halte Bundaran Senayan, saya kira di GBK. Akhirnya, saya menyusul dengan transjakarta berikutnya ke Bundaran Senayan.

Sepatu rusak, salah turun. Lucu. Konyol lebih tepat mungkin.

“Tau nggak kenapa harimu nggak lancar?” katanya sambil tersenyum.

“Kenapa?” tanya saya tidak ada ide.

“Karena hari ini hari Pentakosta. Harusnya kita ke Gereja dulu.”

Hahahaha. Betul juga.

Monas menjadi tujuan berikutnya setelah bookfair. Monas adalah tujuan mendadak, di luar rencana.

“Kapan terakhir ke monas?” Dia tanya di pelataran monas.

“SMA, hmm, kuliah, eh nggak deng, setahun yang lalu. Ya, setahun yang lalu.”

“Sama siapa?”

“Sama temen.”

Lalu ada hening yang agak panjang. Saya berusaha mengingat, ya, terakhir saya kesini memang May 2013, setahun lalu. Jangan-jangan tanggalnya sama. Pikir saya dalam hati.

Semesta selalu punya kejutannya sendiri, seringkali di luar dugaan. 

10 menit di 3142 MDPL jadi lebih dari 314.2 menit di 10 MDPL.

Halo, teman baru!

Comments

  1. 君の新しい友達は男ですか、女ですか。

    tmen bru kmu itu, laki2 atau prempuan? ehem

    ReplyDelete
  2. anyway, don't trust google translate other than English, except for word by word translation, hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. soalnya secara grammar itu udah bener, eh pas aku coba liat artinya di google, ancur abis

      Delete
  3. Jadi itu artinya apa tuan? Haha. Gak bisa buka google translate dan komen ini secara bersamaan.

    ReplyDelete

Post a Comment