Skip to main content

Bersambung 2..

Jagat memang menyebalkan, tapi cobalah sekali saja travelling bersamanya, maka kamu akan ketagihan. Kalau ada malam penganugerahan travelmate terbaik, mahkota itu pasti akan aku berikan padanya.

------------------------------------------------------------------------------------------------------

Aku baru selesai mandi ketika ku dengar ada suara vespa di depan rumah.  Tak lama kemudian terdengar suara memanggil, “Anjani.. Jani..”

“Sebentar Gat!” Jawabku agak berteriak dari dalam kamar.  Sepuluh menit kemudian, barulah aku keluar, menghampiri Jagat yang sudah menunggu di beranda. Dia masih mengenakan setelan kantornya, kemeja, celana, dan pantovel yang seba hitam. Aku lebih suka melihat jagat dengan kaos hitam dan jins belelnya. Jiwanya terasa lebih hidup.

“Tumben lo mandi. Bakal badai kayanya malem ini,” katanya asal sambil melihat langit kemudian bersiul riang.

“Jadi, ke Rinjani kita bulan depan?” Tanyaku tanpa menghiraukan gurauannya.

Jagat mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, “Berangkatlah yuk. Gimana kalo tanggal 2 – 9 bulan depan? Nih lo liat deh!”

Bentuknya seperti surat undangan. “Apaan nih? Hadiah gw jadi sarjana?” Tanyaku sambil membuka sampul luarnya. Undangan pernikahan rupanya. Anindita & Dion, 6 September 2014. Aku terkesiap sejenak. Kemudian tertawa keras, “Cieee, mau ditinggal kawin. Jadi Rinjani tempat pelarian dari kejamnya dunia nih? Hahaha.” Tidak banyak yang aku ketahui tentang Anindita, selain dia adalah mantan kekasih Jagat satu-satunya.

“Berisik!” Omelnya sambil mengambil paksa undangan yang ada di tanganku.

Merasa tak enak hati, aku pindah duduk ke sebelahnya, “Bercanda, Gat. Tapi lo yakin nggak mau dateng? Siapa tahu di detik-detik terakhir dia berubah pikiran dan kembali ke pelukan lo.”

“Nah, karena itu Jani, gw mendingan nggak usah dateng, supaya dia nggak punya kemungkinan berubah pikiran. Gw emang terlalu kece untuk dilewatkan. Ya kan?”

“Kece? Kece-bong? Kece-bur? Kece-le?” Aku meledeknya. Dalam hitungan sepersekian detik, kepalaku sudah kena toyor pelan darinya.

“Jadi fix nih ya tanggal  2 – 9 bulan depan? Gw bakal ngajuin cuti. Kita buruan bikin jadwal jogging, riset, konsumsi, dan lain-lain,” ujarnya mulai mempersiapkan semuanya. Jagat sangat disiplin masalah pendakian. Naik gunung bukan olahraga yang bisa asal jalan. Butuh persiapan yang matang, mulai dari uang, peralatan, sampai fisik yang sehat, kecuali jika mau naik gunung dengan tidak nikmat, bahkan tidak selamat.

“Asik, jadi ke Rinjani. Dewi Anjani, aku datang!!!!” Kataku berteriak gembira.

“Yaudah, gw balik dulu ya,” Jagat berpamitan lalu berjalan ke arah vespanya.

“Ok.Makasih, Gat!”

Setelah berhasil menyalakan mesin vespanya, dua detik kemudian, mesin mendadak dimatikan kembali, “Hampir aja lupa, ini buat lo, hadiah buat sarjana yang fresh from the oven.”

Aku begitu terkejut, ku ambil gulungan kertas A4 dari tangannya. “Itu gw lagi belajar bikin karikatur, nggak bagus-bagus amat si, tapi lebih cakep lo di gambar itu daripada aslinya, sumpah!” Senyumnya mengejek. Belum sempat ku balas, Jagat langsung menyalakan mesin dan berlalu pergi sebelum aku sempat mengucapkan terimakasih. 

"Hati-hati, Gat, badai!" Aku berteriak. Dia hanya mengangkat jempol ke udara tanpa menoleh lagi. Punggung dan vespanya menghilang di telan tikungan jalan.

Kubuka gulungan kertas itu di dalam kamar. Ternyata, karikaturku dengan setelan lengkap naik gunung, ada carrier besar di punggung, tracking pole di tangan, tetapi dengan topi toga di kepala yang dibuat dengan ukuran lebih besar. Ada tulisan di bagian bawah,

Keep travelling, Jani! Jadi sarjana dan masuk belantara dunia kerja bukan penghalang buat tetep jalan-jalan,

Your travelmate,

– Jagat.

Comments