Skip to main content

Tiga Hari untuk Selamanya

"Do you hate me that much?"

Jagat

Aku baru bangun, ku kerjapkan mataku, memastikan kembali kalau aku tidak salah baca nama si pengirim. Sudah lama tidak ada nama ini di kotak masukku.

Aku sedang di dalam mobil, dalam perjalanan dari Pantai Sawarna menuju Jakarta, bersama tujuh sahabatku. Sudah lama Jagat tidak mampir di kepalaku, sampai aku tiba-tiba benar-benar memikirkannya sebelum aku ketiduran barusan - aku tidak mau mengakui sebagai merindukannya. Ajaib, ketika aku bangun, dia mengirimkan pesan untukku. Sinyalku sampai ke kepalanya? Atau karena dia sedang merindukanku, maka aku memikirkannya?

Jagat! Apa aku perlu membencimu, Gat?

Tak lama kemudian, lagu Float mengalun lembut dari telepon genggamku.
Lewat sudah
Tiga hari ‘tuk s’lamanya
Dan kekallahDetik-detik di dalamnya

Hari Pertama

"Maaf Jani, aku terlambat," katamu sambil mengajak bersalaman.
Aku hanya menyambut tanganmu, berjabat tangan, tanpa membalas sepatah katapun. Rambutmu yang agak ikal dan gondrong, sedikit mengingatkanku pada Yesus. Semesta berbisik kepadaku, hari itu akan menjadi hari pertama dan terakhirku melihat rambutmu gondrong. Hiruk pikuk stasiun mampu meredam rasa gugupku siang itu.

"Kita mau kemana, Gat?" Tidak ada jawaban.
Aku juga tak punya jawaban. Akhirnya, kita berjalan kaki di jantung Jakarta, saat matahari benar-benar di atas kepala. Perjalanan pertama ini tanpa tujuan. Gila.

"Kau akan tetap travelling?"
Kamu tahu Jagat, travelling adalah nafasku untuk tetap semangat bertahan. "Iya, kalau bisa, aku mau travelling sekeluarga, yang jauh," jawabku mantap. Kamu balik bertanya, dengan nada agak tinggi, "Bagaimana dengan sekolah anak-anakmu? Kau mau anak-anakmu nggak sekolah? Bagaimana dengan suamimu? Dia harus ninggalin kerjaannya supaya bisa travelling sama-sama?"

Aku tercekat. Tak punya jawaban. Pertanyaan macam apa ini. "Maaf Jani, aku nggak bermaksud merusak mimpi-mimpimu." Dan mimpiku tidak lagi sempurna sejak hari itu.

Perjalanan berlanjut ke museum. "Biru.. Hijau.. Merah.." suaramu lirih. Kita duduk di kursi besar, di depan televisi. Kamu menebak warna apa yang akan muncul dari pantulan-pantulan yang bergerak. Bahkan, menemanimu menebak warna saja jadi hal yang menyenangkan buatku. Selamat Gat, kamu punya penggemar baru.

"Jani, aku bisa pastikan, dari seluruh yang ada di monas ini, cuma kita yang ngobrol hal-hal yang kaya gini," katamu yakin setelah kita berbincang panjang di pelataran monas. Aku percaya saat itu. Satu tahun kemudian, barulah aku sadar, keyakinanmu mungkin saja salah. Tapi Gat, kamu perlu tahu, itu adalah salah satu senja terbaikku, menghabiskan waktu untuk berbincang denganmu.

Orang buta tidak bisa memimpin orang buta, kecuali mereka mau menikmati tersesat bersama. Malam itu kita tersesat. Tak bisa kembali ke stasiun tempat kita pertama bertemu.

"Udah jam 8 Jani, besok kau harus kerja. Kalau nggak ketemu juga jalannya, kita naik kendaraan aja," aku tahu itu pernyataan, bukan pertanyaan. Seketika, aku merasa aman ada di sebelahmu. Hujan mulai turun.

Keluar dari angkutan umum, hujan semakin deras. Sssttt, aku bersyukur tidak ada payung diantara kita. "Jani, kau mau pake jaketku?" Aku ragu. "Kamu gimana Gat nanti?" "Karyawan nggak boleh sakit. Harus kerja besok," katamu sambil melepas jaketmu. Aku tertawa dalam hati. Aku begitu suka main hujan-hujanan. Aku termasuk yang tidak gampang sakit karena hujan. Tapi biarlah, kali ini, aku ingin jadi perempuan yang "perempuan". Jaket hitammu sudah berpindah ke badanku sekarang.

Kita berpisah di stasiun.

Hari Kedua

Kali ini, aku yang terlambat. Kamu sudah menunggu di tempatku menunggu dulu.

"Maaf Gat, telat," kataku sambil duduk di sebelahmu. Rambutmu sudah tidak lagi gondrong.

"Kau udah tunangan, Jani?" tanyamu sambil melirik cincin di jari tengahku. Aku mengacungkan jari tengahku di depan mukamu sambil tertawa, "Ini kan di jari tengah, Gat! Bukan di jari manis." Kamu berdecak kesal, "Ku tokok nanti kepalamu."

Seperti biasa, kita kembali berjalan kaki di tengah kota Jakarta, saat matahari persis di atas kepala. Kali ini, dengan rute yang berbeda. "Cuma Kau, Jani, yang bisa diajak jalan kaki panas-panasan begini." Aku terdiam. Ambigu. Ini ledekan atau pujian?

Menuangkan saus ke dalam piringmu, ini yang tak terlupakan dari siang itu di hari yang kedua.

"Aku minggu depan mau ke Rinjani, Gat! Berdua sama temanku," kataku bercerita di jembatan semanggi yang super panjang itu. "Berdua? Nggak bisa nggak usah berangkat, Jan?" Oh Jagat, ibuku bahkan tidak bisa menghalangiku, bisikku dalam hati. "Nggak lah, semua tiket udah dibeli."

"Jadi, nggak bisa dibatalin?" tanyamu lagi. Jagat, jangan memintaku berhenti melakukan perjalanan, kamu, kamu yang akan menjadi alasan untukku pulang. "Nggak," kataku lirih. Kita menghabiskan sisa perjalanan di jembatan dalam diam.

Kita kembali berpisah di stasiun di hari yang kedua.

Hari Ketiga

Semesta kembali berbisik, hari ini mungkin menjadi hari terakhir aku bisa melihatmu. Kali ini, kita tidak akan berjalan kaki di tengah kota, tapi di kaki pegunungan.

"Kau akan menetap di Jakarta, Jan?" tanyamu sambil menunggu kereta ke arah Bogor. "Iya, karir untuk profesiku yang sekarang itu cuma ada di Jakarta, Gat." Bau perpisahan semakin menyengat. "Nggak susah berarti kalau suatu hari aku mau ketemu Kau lagi."

Kereta kami tiba di Bogor. Perjalanan ke kaki gunung salak dimulai. "Jani, ibuku nggak ngizinin aku dengan wanita karo." Aku menoleh sejenak ke arahmu, berusaha mencerna, kemudian tertawa. Entah apa yang lucu. Tapi tertawa bisa mengurangi rasa sakit bukan? Bau perpisahan menjadi lebih menyengat berpuluh-puluh kali lipat sekarang. Baiklah, aku perjelas, aku dilahirkan sebagai salah satu perempuan karo yang sudah jarang itu. Pindah agama mungkin bisa, pindah ras? Ketidakadilan macam apa ini?

Foto dan kemeja hitam benar-benar menjadi salam perpisahan yang nyata hari itu. Di dalam tasmu, ada map plastik kartun. Pertanyaan yang tidak sempat aku ungkapkan, "itu map milik perempuanmu, Gat?"

Hujan kembali turun dengan deras. Aku membawa payung pinjaman, dan lagi-lagi aku bersyukur, kamu tidak membawa payung. Kali ini, jaket cokelatmu yang aku pakai. Aku sudah berkali-kali ke tempat itu, tapi perjalanan kali ini terasa sangat singkat.

Semakin sedikit waktumu tersisa, semakin cepat rasanya waktu berjalan. Sebelum waktu itu habis, aku biarkan otakku menghafal mukamu. Menghafal letak tahi lalatmu, menghafal bentuk wajahmu, menghafal semua yang bisa kuhafal. Sepasang matamu adalah satu-satunya tempat dimana aku bisa melihat diriku sendiri. Aku sungguh bersyukur, bisa melihat diriku sendiri di kedalaman bola matamu, berkaca di sana sepuasnya.

Di stasiun itu, hari pertama kita mulai. Di stasiun itu pula kita harus mengakhiri hari yang ketiga, dan mungkin hari yang terakhir.

"Jani, I don't know what to say, but, thanks, you're some pages of my life."

Oh ya, semakin jelas, only some pages.

***

"Jani, aku sudah di bandara."

Ini kekecewaan terbesarku untukmu, Jagat. Kamu mengabarkan kepergianmu sesaat sebelum kamu meninggalkan pulau ini. Aku berlari sekencang-kencangnya pagi itu. Sedih dan gembira sama-sama punya energi yang luar biasa ternyata.

Pertemuan selesai. Di hari-hari berikutnya, kita hanya berbincang lewat pulsa. Aku tahu persis, saatnya akan tiba, saat dimana kita tidak akan lagi berbincang. Cuma masalah waktu, pikirku. Sampai akhirnya, kamu memasang foto bersama perempuanmu. Perempuan yang dulu pernah aku tanyakan, dan tak pernah kamu iyakan.

Jagat, kamu meninggalkan begitu banyak pertanyaan yang begitu aku ingin tanyakan. Tapi, apa pertanyaan akan merubah kenyataan? Rasanya tidak.

Memang benar, terlepaskan dari mengingini adalah kebebasan. Dan aku sudah terbebas darimu sekarang, Gat. Tenang, aku tidak akan membuat christmas wish agar kalian selesai, justru sebaliknya.

Pada akhirnya aku sadar, mungkin yang kamu butuhkan memang dia yang suka membuat kue, bukan aku yang suka membuat rencana perjalanan. Hahaha.

***

"Do you hate me that much?"

Jagat

Aku baru bangun, ku kerjapkan mataku, memastikan kembali kalau aku tidak salah baca nama si pengirim. Sudah lama tidak ada nama ini di kotak masukku.

Aku sedang di dalam mobil, dalam perjalanan dari Pantai Sawarna menuju Jakarta, bersama tujuh sahabatku. Sudah lama Jagat tidak mampir di kepalaku, sampai aku tiba-tiba benar-benar memikirkannya sebelum aku ketiduran barusan - aku tidak mau mengakui sebagai merindukannya. Ajaib, ketika aku bangun, dia mengirimkan pesan untukku. Sinyalku sampai ke kepalanya? Atau karena dia sedang merindukanku, maka aku memikirkannya?

Jagat! Apa aku perlu membencimu, Gat?

Rasanya tidak. Kita akan berteman, selama-lama-lama-lamanya.

Yang mengaku sebagai temanmu,

Jani.

Lagu Float pun kembali mengalun:
Langit biru
Setiap liku jalan itu
Akan s’lalu
Melukiskan kisah itu
Rindu yang kian terbendung lama akan mencapai batasnya
Terbuai indah kenangan baru, sesal jadi penyatu
S’galanya t’lah berlalu

Comments

  1. Mungkin ini tulisan si jagat, menurutmu??


    Gantungan kunci

    Melawan makna kerasnya batang kayu,,

    Menerbangkan serbuk-serbuk gergaji.. dalam lalu-lalang asap kendaraan di depan rumahmu

    Menuntunmu menuju jalan kosong yang hanya sebesar garis dari ujung jendela

    Langkah menusuk-nusuk, lingkaran-lingkaran membusuk



    Sementara udara, terlalu sibuk berjalan sana sini

    Melupakan sisa-sisa debu dan besi-besi yang sudah merapuh

    Menyeret-nyeret hawa dan gerigi, mencampurkannya menjadi satu,

    Membawanya masuk, ke ruang hayalmu



    Sementara diriku,

    Duduk di atas bangku lembut, mungkin dari campuran lumpur dan lilin

    Kebosanan dan kejenuhan sudah kusantap sebelum aku ke sini..

    Menyeruput kopi pagiku yang terbuat dari kepergianmu

    Bahkan membongkar baju-baju lamamu



    Sementara dirimu

    Menutup kayu dengan cumbu

    Mengetuk-ngetuk tanah, sampai kain-kain hitam di ujung kepalamu

    bertegur sapa dengan ujung telingaku

    Hingga aku ditelan bangku

    Waktu, bukan sekadar urutan, ketika kau membacakan bait-bait langkah untuk mengunci jantungku

    Kau mungkin lari dengan waktu,

    Dan gantungan kuncimu masih kugenggam di tangan kiriku

    ReplyDelete
  2. Gantungan kunci tanpa anak kuncinya?

    ada apa di tangan kanan jagat?

    ReplyDelete
  3. hmm,, sebenarnya lebaran itu waktu yang lama lho.. tpi...

    ReplyDelete
  4. kyaknya baru satu deh,, itupun gk lengkp,, "tpi"...
    ??

    ReplyDelete
  5. Ke comment pos 'apa kbr', ada 'tapi' jg d sana.

    ReplyDelete
  6. iya.. ribetnya di mana?

    ReplyDelete
  7. Ya ribet lah. 'Tapi' merujuk ke 'syarat & ketentuan berlaku'.

    ReplyDelete
  8. lah kan gak ada syarat dan ketentuannya di situ..

    ReplyDelete

Post a Comment