Skip to main content

Bersambung 1..

Kalau sebagian orang sedang berusaha menemukan belahan jiwa mereka, aku rasa aku sudah bertemu dengan belahan jiwaku. Travelling, dia adalah belahan jiwaku. Aku sudah merasa penuh ketika aku travelling. Ibuku bilang, ada bulu kakiku yang sudah jatuh di jalan, sehingga aku tidak pernah betah di rumah, persis seperti ayahku. Dari cerita ibuku, aku tahu bahwa Ayah adalah seorang petualang, bahkan dia melamar ibu di Segara Anak.

Ayahku masuk ke dalam golongan yang berbahagia menurut Gie, karena dia mati muda. Dia meninggal di usianya yang ke 32, saat sedang melakukan ekspedisi arung jeram di sungai Citarik. Saat itu, aku baru berusia 5 tahun. Ingin rasanya aku bertanya pada Gie, apakah mereka yang ditinggalkan oleh orang yang mati muda juga termasuk golongan yang beruntung.

“Gat, gw baru aja jadi SARJANA!!! Rinjani yuk bulan depan!” Aku menelepon Jagat dengan nada suara dua oktaf lebih tinggi dari suara alto ku. Jagat menjadi orang kedua setelah ibuku yang aku telepon setelah dinyatakan lulus 5 menit yang lalu.

Ada nada terkejut di suaranya,”Rinjani?! Bulan depan? Gw ke rumah lo ya nanti malem buat ngomongin. Daah Anjani!”

“Ga...” Mulutku masih terbuka. Kali ini aku yang terkejut karena Jagat menutup teleponnya begitu cepat. Harusnya aku sudah hafal akan kebiasaannya yang tidak banyak bicara.

Mendadak, nama Jagat muncul di layar ponselku sambil berbicara tanpa jeda, “Gw lupa, selamat Jani, udah jadi S.T, Sarjana Teknik, nggak cuma jadi Sarjana Tenda. Sampe ketemu nanti malem ya.” Klik. Telepon terputus. Aku coba telepon balik untuk protes padanya. Tidak diangkat.

Jagat memang menyebalkan, tapi cobalah sekali saja travelling bersamanya, maka kamu akan ketagihan. Kalau ada malam penganugerahan travelmate terbaik, mahkota itu pasti akan aku berikan padanya. 

(Bersambung..)

Comments

  1. Halo mba Rani. Sesekali meninggalkan jejak ah :p Teros lanjutin ya mbak

    ReplyDelete
  2. Halo Dek Iyas! Mana tulisan barunya?!

    ReplyDelete

Post a Comment