Kalau sebagian orang
sedang berusaha menemukan belahan jiwa mereka, aku rasa aku sudah bertemu
dengan belahan jiwaku. Travelling,
dia adalah belahan jiwaku. Aku sudah merasa penuh ketika aku travelling. Ibuku bilang, ada bulu
kakiku yang sudah jatuh di jalan, sehingga aku tidak pernah betah di rumah,
persis seperti ayahku. Dari cerita ibuku, aku tahu bahwa Ayah adalah seorang
petualang, bahkan dia melamar ibu di Segara Anak.
Ayahku masuk ke dalam
golongan yang berbahagia menurut Gie, karena dia mati muda. Dia meninggal di
usianya yang ke 32, saat sedang melakukan ekspedisi arung jeram di sungai
Citarik. Saat itu, aku baru berusia 5 tahun. Ingin rasanya aku bertanya pada
Gie, apakah mereka yang ditinggalkan oleh orang yang mati muda juga termasuk
golongan yang beruntung.
“Gat, gw baru aja jadi
SARJANA!!! Rinjani yuk bulan depan!” Aku menelepon Jagat dengan nada suara dua
oktaf lebih tinggi dari suara alto ku. Jagat menjadi orang kedua setelah ibuku
yang aku telepon setelah dinyatakan lulus 5 menit yang lalu.
Ada nada terkejut di
suaranya,”Rinjani?! Bulan depan? Gw ke rumah lo ya nanti malem buat ngomongin.
Daah Anjani!”
“Ga...” Mulutku masih
terbuka. Kali ini aku yang terkejut karena Jagat menutup teleponnya begitu
cepat. Harusnya aku sudah hafal akan kebiasaannya yang tidak banyak bicara.
Mendadak, nama Jagat
muncul di layar ponselku sambil berbicara tanpa jeda, “Gw lupa, selamat Jani,
udah jadi S.T, Sarjana Teknik, nggak cuma jadi Sarjana Tenda. Sampe ketemu
nanti malem ya.” Klik. Telepon terputus. Aku coba telepon balik untuk protes
padanya. Tidak diangkat.
Jagat memang menyebalkan,
tapi cobalah sekali saja travelling bersamanya,
maka kamu akan ketagihan. Kalau ada malam penganugerahan travelmate terbaik, mahkota itu pasti akan aku berikan padanya.
(Bersambung..)
Halo mba Rani. Sesekali meninggalkan jejak ah :p Teros lanjutin ya mbak
ReplyDeleteHalo Dek Iyas! Mana tulisan barunya?!
ReplyDelete