Skip to main content

Mata Dewa

Biar saya tambahkan kesenangan saya yang lain. Menjemput dan menghantarkan matahari. Untuk itulah, saya ada di sini sekarang, di dubur laut selatan, bersama hamparan milyaran pasir, dan seorang teman perjalanan.
"Cemburu pada sang ombak yang selalu bergerak. Cemburu pada samudera yang menampung segala."
Iwan Fals bersenandung lirih di sebelah saya, lewat handphone kecil nan jadul. Saya biarkan ujung kaki saya disentuh ombak yang katanya selalu bergerak. Mata saya menjelajah samudera, tanpa berakomodasi. Angin pantai begitu bersahabat. Mendadak saya mengerti arti "santai aja kaya di pantai."

Haruskah saya iri pada samudera? Rasanya tidak. Siapa yang bilang menampung segalanya itu enak? Saya mungkin akan lebih memilih menampung secukupnya.

Matahari sudah semakin pendek. Semakin mendekati garis laut, semakin besar ia. Tidak cuma langit yang mulai menjingga, hampir seluruh pantai ini mulai menjingga. Ini bagian yang paling saya tunggu-tunggu. Momen jingga.
"Di atas pasir senja pantai Kuta. Saat kau rebah di bahu kiriku. Helai rambutmu halangi khusukku. Nikmati ramah, mentari yang pulang. Seperti mata dewa"
Iwan Fals berganti lagu. Kali ini, dia menyanyikan Mata Dewa. Saya tersenyum, sambil berbisik dalam hati, "Pas Om, lagunya!"

Tiba-tiba, teman perjalanan saya yang tadinya duduk jauh di belakang, sudah ada di sebelah saya. Bersama kita nikmati momen jingga itu. Ada hening yang panjang, hening yang damai. Kami mengantar pulang sang mata dewa dengan keheningan senja itu.

Comments