Skip to main content

Nomaden - Hari 4

Kali ini saya akan membawamu ke cerita menginap di tempat yang pertama. Empat malam saya menginap di Casa de Odua, di daerah Godean. Rumah modern dengan dua taman besar di dalam rumah. Saya menyewa satu kamar di salah satu paviliun, dan selama empat malam tidak ada pengunjung lain. Tempat kerja favorit saya yaitu ruang makan, karena sangat dekat dengan taman dan sejuk sekali disana, padahal di luar rumah cuacanya panas. Saya jadi punya inspirasi untuk taman di belakang rumah, yang entah kapan akan saya wujudkan. Yang saya kagumi dari rumah ini, padahal banyak ruang terbukanya, tapi ketika hujan sama sekali tidak ada yang tampias. 

Selama tinggal disini, saya sama sekali tidak kemana-mana, kecuali ketika baru datang saya makan di Bakmi Pele yang hanya berjarak 600 meter dari rumah, membeli stok buah, dan tiap pagi jalan kaki berkeliling untuk beli jajanan. Di hari kedua saya baru tahu kalau ternyata yang ada di ruang tengah adalah Smart TV, jadilah saya melanjutkan menonton Grey's Anatomy setiap malam. Nggak jauh beda dengan kebiasaan di rumah. Haha. 

Selanjutnya saya menginap di Yats Colony dua malam. Gratis berkat Siska. Siska membeli voucher dua malam ketika awal lockdown tahun lalu dan berharap bisa kembali ke Indonesia tahun ini. Rupanya keadaaan nggak memungkinkan dan dia nggak bisa kembali ke Indonesia. Terima kasih, Siska dan Made.

Terlalu dini untuk menyimpulkan, tapi mungkin bagian yang menariknya adalah berpindah, datang ke tempat baru, dan tahu bahwa akan ada pengalaman baru. Mendatangi tempat baru, berinteraksi dengan orang yang tidak pernah kamu temui sebelumnya, sekalipun hanya selewat, melihat hal-hal yang berbeda dengan rutinitas biasanya, membantu saya menyadari bahwa saya bukan poros dunia, saya lebih santai dalam berpikir dan menyikapi segala kekurangan, dan yang terpenting, khawatir tentang hari esok jadi jauh lebih berkurang.

Di Yats, kebetulan meja kerjanya langsung menghadap cermin besar. Ada satu momen, dimana saya bercermin, kemudian melihat jerawat yang entah kenapa nggak juga membaik, saya senyum, dan bicara pada diri sendiri, so what? Saya rasa saya mulai menerima keberadaan jerawat sebagai bagian dari diri saya.

Terlepas dari perjalanan ini, ada satu perkembangan yang saya sadari dari saya beberapa tahun yang lalu. Kalau beberapa tahun lalu, saya bisa begitu keras kepala dan mengusahakan segala hal untuk apa yang saya mau, yang mungkin sebenarnya memang tidak diberikan dunia untuk saya. Sekarang saya tahu kapan harus berhenti. 

Comments