Skip to main content

sebatas lift

"Jadi Mba, kalau untuk benefit ini gimana?" suara beratnya berasal dari belakang punggungku. Ia mengajukan pertanyaan pada pembicara di depan. Suaranya menjadi sangat khas, kombinasi antara berat dan serak yang dipadukan dengan rasa percaya diri dan nyeleneh. Aku tersentak, refleks ku balikkan badanku mencari sumber suara. Melihat wujudnya, sesuai dengan suaranya. Tegap dengan kulit sawo matang. Aku segera kembali melihat ke depan, seolah mengabaikannya. Ini adalah sesi terakhir dari rangkaian dua hari orientasi pegawai baru.


Aku hampir lupa sosoknya, sampai suatu pagi, kami berada di lift penuh sesak yang sama. Aku berdiri tepat di belakangnya. Yang bisa kulihat hanya punggungnya, ya, kepalaku hanya bisa menyamai setengah punggungnya. Akhirnya, dia keluar di lantai tujuh.

Pernah suatu siang, ketika aku turun untuk membeli makan siang, pintu lift terbuka di lantai tujuh. Dia masuk bersama rekannya dan berbincang. Kali ini lift sepi, jadi aku bisa mendengar kembali suaranya yang berat dan serak dengan sangat jelas. Dia berdiri di sampingku.

Kami sering bertemu, tapi tentu saja hanya di lift dan tanpa komunikasi apapun.


Aku tidak tahu namanya dan tidak berusaha mencari tahu. Yang aku tahu, semesta kami hanya sebatas lift dari lantai dasar hingga lantai tujuh dan hanya pada hari-hari tertentu.

Comments