Skip to main content

Nomaden - Hari 24

Anak Kucing di Penginapan

Halo! Kali ini saya akan bercerita tentang empat hari di Bali. Selama empat hari ini, saya 'ditampung' oleh Sisil. Sisil adalah kakak kelas saya di SMA, dulu kami sama-sama ikut ekstrakulikuler pecinta alam Ekstanba dan kebetulan kami meneruskan di fakultas yang sama ketika kuliah. Bedanya, dia ambil jurusan Biologi. Singkat cerita, dengan baik hati dia menawarkan tempatnya untuk saya tinggali sementara waktu. Kami tinggal di Anyar Guest House di Canggu, bentuknya seperti kosan bagus di Setiabudi, tapi dengan harga yang jauuuuh lebih murah. Sepertiga harga kosan di Setiabudi sepertinya. 

Guest house-nya memiliki kolam renang dan common space yang lumayan besar. Saya biasa bekerja di common space yang ada di sebelah kolam renang. Seperti Yogya, yang mewah dari Bali bagi saya adalah banyaknya pilihan tempat terbuka untuk sekedar jalan kaki dan menghabiskan pagi. Dari tempat saya menginap, jarak ke Pantai terdekat hanya sekitar tiga kilometer, ada juga yang sekitar enam kilo. Banyak pilihan. 

Cheviche

Oh, karena ada Sisil yang bisa bawa motor, kendaraan bukan masalah. Iya, saya nggak bisa bawa motor. Hmm, sudah numpang, nggak bisa bawa kendaraan. Useless sekali saya. Minggu siang kami ke Pantai Balangan, sekitar satu jam dari Canggu. Banyak surfer di pantai ini. Kami beli kelapa dingin, iya, kelapanya dimasukkan ke kulkas. Jadi airnya dingin dan segar luar biasa. Setelah dua jam di pantai, kami ke Warung Olas yang tidak jauh dari Balangan. Warung Olas menjual peruvian food, makanan khas peru. Kami memesan cheviche, semacam sushi tapi dengan bumbu-bumbu segar. Aduh, itu enak sekali. 

Senin pagi, saya bekerja lebih jauh awal karena berharapnya sorenya bisa melihat matahari tenggelam. Saat sedang kerja, ada perempuan setengah baya menghampiri saya. Kami berkenalan dan ternyata ia dari Jakarta dan sedang mengunjungi anaknya, dan dia membahasakan dirinya sebagai Tante. Singkat cerita, Tante tahu bahwa saya Katolik dan dia bercerita bahwa dia baru sembuh dari kanker dari dua tahun yang lalu. Sejak sembuh dan sebelum pandemi, dia aktif di pelayanan orang-orang sakit kanker. "Kamu harus rajin berdoa. Waktu sakit, sumber kekuatan tante ya doa. Rajin-rajin adorasi, novena. Jangan sampai kehilangan harapan." Saya mendapat siraman rohani pagi-pagi, berpikir apakah saya membawa aura orang yang kehilangan harapan. 

Senja di Berawa

Sore harinya, kami ke Pantai Berawa yang hanya berjarak sekitar empat kilo dari penginapan. Sayang sekali cuacanya tidak terlalu cerah, jadi pemandangan matahari tenggelamnya tidak terlalu bagus. Pantainya lumayan ramai dan saya cukup terkejut karena banyak sekali pengunjung yang bukan orang indonesia. Saya kira, keadaannya akan seperti di Gili yang hampir tidak ada turis luar. Kami berjalan kaki lumayan jauh menyusuri pantai, sekitar tiga kilo bolak-balik. 

Selasa pagi, saya bangun jam setengah enam dan bergegas ke Pantai Berawa. Sampai pantai, ternyata hujan. Untung tidak terlalu lama, hanya dua puluh menit. Saya kembali menyusuri rute yang sama seperti sebelumnya. Banyak yang jogging atau sekedar jalan-jalan santai. Yang menarik menurut saya adalah banyak sekali yang membawa anjingnya turut serta, bahkan hampir semua yang jalan-jalan membawa anjing. Anjingnya macam-macam, dari yang pernah saya lihat sampai yang jenisnya tidak pernah saya lihat sebelumnya. Ada orang yang membawa begitu banyak siberian husky. Jadi dia jalan di depan dan mungkin sekitar tujuh husky mengikuti di belakangnya. Saya jadi teringat film The Revenant. Ada juga yang jogging, kemudian anjingnya mengikuti di belakangnya. Saat ada ombak yang langsung mengenai mereka, itu menambah efek dramatis. Kalau yang ini saya teringat baywatch. Sekarang saya mengerti mengapa kakak saya yang dulu lama tinggal di Bali sempat memelihara anjing. 

Pemandangan Menuju Pantai Seseh

Rabu pagi, saya disarankan Sisil untuk ke Pantai Seseh. Sedikit lebih jauh, tapi lebih sepi. Yang paling menarik adalah pemandangan menuju pantainya, jalan kecil dengan kanan kiri sawah, ditambah lagi harinya sedang cerah. Sampai di Pantai Seseh, pantainya ternyata memang jauh lebih sepi dari Pantai Berawa. Sekitar satu jam lebih jalan kaki dan duduk-duduk, saya bergegas pulang.

Bapak dan Anak Perempuannya

Bisa kerja secara remote seperti ini dari manapun membuat saya sangat mensyukuri untuk privilese yang luar biasa. Dulu saya berpikir bahwa saya harus pensiun dini untuk bisa tinggal di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk, di desa kecil, atau di dekat pantai. Ternyata dengan masih tetap bekerja, kesempatan itu masih bisa didapatkan. Kesempatan ini membuat saya semakin mensyukuri dan menikmati pekerjaan saat ini. 

Comments